Pada Setangkai bunga Sepatu
Kota yang aku tinggali hanya menuliskan satu bait puisi
kidung-kidung tanpa nyali dari para pembersih
yang mulai terserak pada keadilan yang mulai mati
tiada lagi bhayangkari sang Mahapatih
yang kesetiaannya melebihi nyawa sindiri
kidung-kidung tanpa nyali dari para pembersih
yang mulai terserak pada keadilan yang mulai mati
tiada lagi bhayangkari sang Mahapatih
yang kesetiaannya melebihi nyawa sindiri
Hingar bingar yang terjadi pada musim kembang sepatu
Pujian yang dulu didendang hanya serupa kentut tak berbau
gaungnya mencengkeram bumi
lalu semilir angin mulai mati
Pujian yang dulu didendang hanya serupa kentut tak berbau
gaungnya mencengkeram bumi
lalu semilir angin mulai mati
Dimanakah para pemimpin itu meletakkan hati
ketika rakyat mulai tercekik tinta sendiri
yang teragung mulai meninggalkan jati diri
hanya menuruti kawan terdekat untuk berkoalisi
ketika rakyat mulai tercekik tinta sendiri
yang teragung mulai meninggalkan jati diri
hanya menuruti kawan terdekat untuk berkoalisi
Kami diam bukan tanpa amarah
dari janji nawacita yang menjadi pedang bermata dua
antara harapan dan cemas jiwa
biarlah tubuh terinjak tapi hati tak tunduk terjajah
dari janji nawacita yang menjadi pedang bermata dua
antara harapan dan cemas jiwa
biarlah tubuh terinjak tapi hati tak tunduk terjajah
jangan lagi kita melawan,
biar karma menenggelamkan segala coba
Yang teragung akan luntur pada kebohongan jiwa
jatuh terduduk dalam singgasana noda
biar karma menenggelamkan segala coba
Yang teragung akan luntur pada kebohongan jiwa
jatuh terduduk dalam singgasana noda
Dan rakyat harus mulai bersatu padu
menatap setangkai bunga sepatu
bekerja keras dan tanpa mengeluh
meski kadang keadilan hanya serupa hayal para pemangku...
menatap setangkai bunga sepatu
bekerja keras dan tanpa mengeluh
meski kadang keadilan hanya serupa hayal para pemangku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar