Kamis, 16 Oktober 2014

RUMAH TANPA NAMA - puisi

RUMAH TANPA NAMA
Dari sebuah kerinduan ingin pulang
Kemanakah waktu akan terus melaju
Menembus batas antara hitam atau putih
Hingga pada gelaplah semua akan kembali
                        Pekat itu mengalir seperti jeda
                        Perantara nyata pada rumah tanpa nama
                        Mereka tumbuh tanpa cahaya
                        Lalu menjamur seperti hujan di musim barat
Suluk-suluk terus berkumandang
Hingga kanvas penuh warna dengan coretan
Lalu berduyun mereka akan pulang
Pada sebuah padang, rumah tanpa nama
Dimana setiap jejak harus dilupakan
Setiap kisah harus dihapuskan
                        Hati yang kokoh akan tegar berdiri
                        Menjemput ilalang di musim matahari
                        Tak jua layu tubuh membisu
                        Pada belulang putih berbalut debu
Di rumah tanpa nama kita akan singgah
Mengisi jeda tidur yang panjang
Jalan setapak meninggalkan jejak
Menuju jauh negeri yang alpa...

                                                                                                Mojokerto,02-10-2012

PADA ASAP KUGANTUNGKAN HUJAN - puisi

PADA ASAP KUGANTUNGKAN HUJAN
Aku berkirim surat pada petang tanpa nama
Bumi yang berkabar tentang tingkah pongah manusia
Hingga hanya asap-asap yang bergulung di atap mega
Merindukan hujan pada sekumpulan awan yang terdusta
            Hutan yang menjerit sakit menumpah amarah
Akar rerumputan menjalar mengupas dahaga
Magma membakar gunung-gunung hingga memuntah,
lahar dan lava memijar menghempas batuan ke rahim senja
Senandung doa tidak lagi mampu menghapus dosa-dosa
Para pawang hanya mampu berdiri menatap padi yang sekarat hampir mati
Bulir yang diidamkan terinjak beghoe di tengah kali,
alir binasa...
            Pucat wajah anak cucu yang menanti tumbuhnya bencana
            Benih yang di tanam para tetua siap di panen,
namun angkara...
Petak – petak yang mengering dikabarkan oleh sang bumi
Hujan hanya menjadi dongeng penghibur dikala senggang
Karena kamu...kamu...kamu...
Setan-setan perambah hutan
Hingga hancur anak cucuku tanpa harapan
Menanti asap akan menurunkan hujan...
                                                                                   

                                                                                                Mojokerto,13-10-2012  

Matahari di Atas Negeri Tanpa Budi - puisi

Matahari di Atas Negeri Tanpa Budi

Engkau harus mendengarku,
sekali ini saja...
Atau hanya sebilah ilalang menggores hatimu yang penuh luka
Perih,seperti sayatan belati menusuk jantung ini,
Ha...ha...ha...
                        Bagaimana mereka harus berebut belulang  dari teman mereka,
                        yang kelaparan,haus kekuasaan dan kekayaan
                        Sedang kami disini terinjak,nafas sesak...
                        Atau mereka benar-benar lupa pada rakyat,
                        yang setengah sekarat...
Pada gelas ini aku bersulang,
agar mereka segera pulang
Menengok kami yang lusuh di bawah jembatan
Tanpa penerangan dan sulit makan
                        Jangan hanya menghitung lidi di gedung dewan
                        Menunjuk sekepal jari mengangkat tangan
                        Dari sisa amploplah semua terhibah
                        Muncul banyak kurcaci bila cukup uang
                        Atau melompong di kursi kosong terhidang
                        Sidang kami tetap miskin dan tetap kelaparan
Tanpa guna melukis kertas di sepanjang jalan
Mengiba dalam teriak hingga serak terserak
Karena tak satupun mereka mendengar,
tanpa tuli...
Mata yang berbinar tertutup materi
                        Jangan bertanya kemana mereka akan terbang
                        Bila lapar bisa membuat nyawa mudah melayang,
                        yang sakit di tahan jangan pulang,
yang belum sakitberpikir cara membayar hutang...
Dan matahari tetap bersinar pada negeri tanpa budi,
Dimana yang korupsi ongkang-ongkang kaki
Yang lapar berbagi  bui demi sesuap nasi.

Mojokerto,14-10-12

GARIS YANG BERBEDA - puisi

GARIS YANG BERBEDA
:  Dari sebuah penafsiran yang salah

Pucatku menanti kabar yang mengubur mimpi
Tentang datangnya gelap pada sepetak tanah
Damar yang kadang menyala trenyuh
Mendongengkan geguritan tentang ulah para manusia

Suluk – suluk menjelma menjadi sifat dari sikap yang katanya Maha adil
Walau tak pernah mengenal sang penguasa Singgahsana ARSY
Dari sasi-sasi yang di dalamnya terdapat purnamalah,
Setiap orang akan mengerti tentang langkah dan kisah
Dari tumbuhnya tunas dengan tangis yang memecah keheningan malam
Hingga kabar Suralaya yang membuat bungah
Mematri tumbuhnya kembali ketentraman jiwa

Se- amis apapun darah yang tertumpah itu,
Terasa wangi bagi Nagari ini
Sesedih apapun linggar yang menyatroni,
Setiap kidung akan tetap merdu,..
Semerdu bahasa wasiatmu yang mulai compang – camping,
Dimakan laga...


Ada yang berpikir semua tutur, tindak dan tandukmu benar
Lalu sebagian besar akan mencibir dan menyebutmu kesasar
Tapi,suaramu tetap menggelegar
Menjumput setiap nyawa yang katamu para pendosa....

Dan mungkin tubuh kakumu akan bertemu kesendirian
Hanya pucat yang tetap setia menyambangi belahan nisanmu
Keluarga yang katamu “ sayang ” akan menjauh
Demi merajut beneng gunjing dan rasa malu.......

Sehingga dalam bisumu kamu akan bertanya
Kenapa tidak kubunuh saja purnama,
karena senyum ikhlasnya hanya akan mengantarmu di pintu pusara



GK Camia Assyifa

Mojokerto,07 September  2012

KIDUNG PRALAYA - puisi

KIDUNG PRALAYA
Kabar itu akan cepat tersebar
Menyibak kain sebak hingga melembar
Yang di jumpa harus bersabar
Karena sepenutup langkah yang benar

Biar mereka menghitung laba dan rugi
Baik dan buruk yang di gunjing peti
Amalan dan dosa di timang Yang Kuasa
Datangnya kita menghantar do’a......

Pita hitam mengiring tangis
Dari pengiring para penggali
Langit dirintik menetak sepi
Lalu lalang berkawan iblis

Biar tersiar kidung pralaya
Hingga sang prabu mengiring waktu
Lalu jalan akan setapak
Penuh duri lumpur terjejak

Biar tersiar kidung pralaya
Melangkah jauh merajut kenanga
Harum terkenang dilingkar kamboja
Tersirap do’a dan gunjing semata
Yang baik memudah langkah
Yang buruk mengubur kisah

GK Camia Assyifa

Mojokerto,02 Agustus 2012

PUSARA SILATURAHMI - puisi

PUSARA SILATURAHMI
Selembar kamboja  tertebas matahari
Gugur mengering menggenggam sepi
Menguning,pucat mendaur diri
Bersedekap di atas pusara yang mewangi....
Berteman bebungaan yang dihampar
Bersama hujan,
Bersama lembutnya do’a-do’a
Khusyuk mengalun berteman dzikro ilahi....
Selembar daun kamboja yang tertembus ilalang
Menepi dan mulai tersapu sepoi
Tertambat pada temaram sang pelangi
Menghitam dan kelabu yang di korban kerinduan
Isak yang mulai menderas,
Memeluk tanah merah yang masih bertabur do’a
Melantun pelan dan semakin tertahan...
Setiap ramadhan datang dan akan pergi lagi
Keharuman  mengkhusyu’ di setiap sunyi
Di atas pusara yang terus mewangi
Hingga jingga kamboja tertawan letih
Daunnya mulai layu,mengering dan tertebas matahari

Mojokerto,16 agustus 2012

GK Camia Assyifa

Rabu, 15 Oktober 2014

PATAH ASUHAN 2 - puisi

 PATAH ASUHAN 2

Aku bukan sedang menanam matahari
meski daunnya segera mengering bukan karena hujan
tangan-tangan setan akan segera memungutnya
menjadikan panen yang sia-sia
dan pupuk kembali menjadi mahal untuk para jelata
juga obat-obatan mulai layu terbunuh wereng ijo

Aku akan terus memandangmu
hingga lebaran tahun depan akan penuh dengan airmata
anak-anak tertawa riang,
tanpa ketupat di meja makan

Para orang tua hanya termangu
Menunggu hujan,
Menunggu tungku menjerang batu-batu

Sumber mata air telah berganti kolam lumpur
Ikan-ikan mati
Terhimpit batu kali
Orang-orang yang meradang
Hanya bisa memandang
Air yang tak lagi bisa dijerang
Untuk mandi pun jangan
Apalagi untuk minum dan menanak makan

Aku bukan sedang menanam matahari
Jika batu kali telah menjadi saksi
Padi-padi akan segera mati
Pada tangan-tangan pencari batu kali


PATAH ASUHAN - puisi

PATAH ASUHAN

Sekiranya kampung
hanya airmata bunda yang terjerang
hujan-hujan adalah kabar untuk hari raya
satu pelukan,
sebelum matahari pergi menggoreskan pena
tentang kisah-kisah masa kecil
tangis seorang bayi yang beranjak dewasa
dan mulai lupa jalan pulang

“ Hai...orang kampung,anakku telah menjadi orang besar”
teriak seorang emak yang hilang asuhan
di rantau mobil-mobil berderet menuju jalan-jalan terjal
kerikil dan ilalang menggores ban
ketika mulai lupa jalan pulang

Jangan menangis untuk malam yang menjadi sepi
lentera segera padamkan
dan tutuplah mata
lupakan ia yang telah menjadi seekor bukan seorang
menjadi induk singa rimba
yang berkuasa untuk menggilas engkau yang jelata

Rumahmu tak lagi punya lentera
jika lilin kecil itu telah menjadi api-api
membakar airmata,
menyesakkan jiwa,
dan segeralah menutup lembar silsilah


Mojosari,23-11-2013


PANGLIMA HILANG PEDANG - puisi

PANGLIMA HILANG PEDANG

Kau,sudah hilang daya juang
tanganmu terikat dalam karung-karung kecurangan
jiwamu terkapar dalam ruang gelap pekat
kesunyian dan terasing dengan gelimang pousterling
yang dengan wajah ayu terus mengerling

Kemana pedangmu yang selama ini terayun menentang matahari ?
menegakkan kebenaran dan keadilan
meneguhkan keberanian dan jatidiri
sudah lumpuh,

Pedangmu telah berganti dengan mercy-mercy
yang terparkir rapi di garasi
dan kau,manja berkipas rupiah ongkang-ongkang kaki

Kemana Keadilan yang kau janjikan ?
sedang airmata orang-orang yang kelaparan
telah menjadi pemuas dahaga tawa
dalam tarian-tarian gadis manja

Terus terinjak,
terus teriak,
terus beranjak,
terbunuh tanpa jejak,

tanpa keadilan ketika engkau hanya menjadi panglima hilang pedang

TANGKAI MAWAR MERAH DI KUPINGMU - puisi

TANGKAI MAWAR MERAH DI KUPINGMU

Saat aku tak lagi menunggu
dari ucapan-ucapan cemburu
telah engkau tancapkan belati menusuk kalbuku
Terlalu lembut,
terlalu kalut,
tak perlu sambut,
terus aku terserang oleh foto usangmu
yang mewarnai berandaku
aku cemburu dengan pelaminanmu
dan engkau cemburu tentang penanggunganku
Lalu apa...?
tidak ada lagi banyak kata yang bisa kita rangkai
karena jiwamu dan jiwaku telah terkurung dalam sangkar emas
yang tak mungkin lepas,
untuk setahun ini,
untuk dua tahun nanti,
atau untuk puluhan tahun mendatang kita tetap terpenjara oleh rasa ini
tanpa daya,
dalam senyum dan tawa,
batin yang selalu tersiksa...
kita bisa diam,

dan selaksa kerinduan datang merajam

BAYI TELANJANG YANG MENANGIS DI LORONG JAMAN - puisi

BAYI TELANJANG YANG MENANGIS DI LORONG JAMAN
Oleh : GK Camia Assyifa


Mereka yang berdiri angkuh seperti tanpa dosa
Bersiaplah menghadapi laknat dari penghuni dunia
Pada purnama-purnama yang telah di gantungkan gelap hidupmu
Tanpa warna dalam fatamorgana sepi
Pelangi akan mulai menghitam dipandangan sayu matamu merayu
Merajuk pada lelehan keringat orang lain yang pernah engkau perah

Tidak ingatkah engkau akan kehadiranmu ?
Dari bayi telanjang yang menangis di lorong jaman
Lemah dan tanpa daya
Rapuh dan selalu butuh perlindungan dari setiap lalang
Senyummu datang dari belas kasihan
Jiwamu terbangun dari sedekah orang-orang yang kelaparan
Pengetahuanmu dari iba bapak ibu gurumu yang penuh kasih sayang

Kenapa harus ingkar...?
Engkau injakkan kakimu untuk menggusur rumah bayi telanjang dilorong jaman
Angkuhmu mengusir keringat orang-orang yang kelaparan
Kata-katamu menghardik guru-gurumu yang mulai  hidup tak berkecukupan
Engkau rusak lingkungan kali dimana pertama kali engkau dimandikan

Tanpa hati nurani pada sawah dan ladang  kami
Tanpa hati nurani pada tubuh kami yang tidak mandi
Tanpa nurani pada kami yang gatal tubuh bila mencuci
Tanpa nurani pada kami yang tercekik tanpa air bersih

Wahai bayi telanjang yang menangis di lorong jaman
Mengapa angkuhmu masih tumbuh ketika kamu duduk dalam singgasana?
Melupakan asal usul dari langkahmu tatih tata
Melupakan awal mula setiap kata yang tumbuh dari bibir mungil yang mengeja
Melupakan setiap suap yang membuat tinggimu beranjak menjulang

Kami yang dulu bersorak menyambut kehadiranmu
Pada setiap purnama harapan tergantung tinggi untukmu
Bayi telanjang yang menangis di lorong jaman
Diam kami hanya mengharap setiap kata menjadi doa
Yang memintamu kembali pada jiwa yang fitrah...


Mojosari,18 Maret 2013

KISAH SANG PETAHANA - puisi

KISAH SANG PETAHANA
Oleh : GK Camia Assyifa

Pada keringat kami telah engkau tanam murka
Tubuh –tubuh ringkih ini menjadi simbol betapa miskinnya akhlak mereka
Yang tuan katakan kaki dan tangan
Telah menampar jiwa kami dalam ribuan kali
Menghisap setiap lelehan bening dalam airmata yang kami tumpah

Terseok tubuh kami yang mulai merapuh diam mendukungmu
Bukan karena cinta,
Bukan karena sayang,
Bukan karena kebanggaan...

Kami di sini berteriak hanya demi sesuap nasi
Sepuluh ribu,dua puluh ribu,lima puluh ribu
Atau hanya demi sebungkus nasi untuk anak isteri kami,siang ini
Padahal hati kami berteriak kalimat yang berbeda
Dalam setiap sujud kami hanya doa yang mengalir penuh amarah
Bersanding sumpah serapah...

Mengapa tuan masih berniat maju?
Bila dari mata kami tuan bisa melihat jiwa tuan yang telanjang
Sangat sulit membedakan antara ketulusan dan pengkhianatan
Pada siapa tuan akan berharap?
Sedang lapar menuntun kami untuk berpikir jernih
Tiada lagi mengharap iba dari sedekah
Karena dengan segelas air putih telah cukup menghapus dahaga
Meski usus kami mulai melilit dan telah buntu
Membuat tubuh ringkih menjadi semakin rapuh
Menanti waktu terbaik yang dipilihkan tuhan untukku...

Terseok tubuh kami yang mulai merapuh diam mendukungmu
Seperti boneka yang hanya bisa bergerak dan berbicara jika ada koin di dalamnya
Bukan karena cinta,
Bukan karena sayang,
Bukan karena kebanggaan...

Mojosari,19 Maret 2013

BUNGA LEMBAH KERINDUAN - puisi

BUNGA LEMBAH KERINDUAN

Merah mata disembab airmatamu
Hilangkan semua beban canda yang harus segera kita lupakan
Semua yang terasa manis hanya sebagian dari ujian
Pertarungan yang panjang untuk mengukir kerinduan

Bila bilar kasih yang selama ini coba engkau sulam
Terus merajut dari terang pagi hingga gelap malam
Tidak pernah ada mimpi yang akan abadi
Karena setiap hari berganti,mimpi akan terkubur relung sepi

Hilangkan beban canda yang harus segera kita lupakan
Merdu lagu dari bibirmu hanya akan mengusik luka yang engkau torehkan
Bukan sajak - sajak yang aku ukir dalam setiap kenangan
Bait-bait dari hujanlah yang akan menghapus semua kerinduan

Aku tidak mungkin untuk jatuh dalam lembah kerinduan
Mengusik bunga yang tumbuh tanpa kelopak di sana
Jalan-jalan terjal yang membuatku terperangkap
Hanya akan membawamu semakin dekat dengan ranting-ranting yang patah

Hilangkan semua beban canda yang harus kita lupakan
Biarkan kidung malam akan bersenandung di bawah purnama
Bunga yang tumbuh di lembah kerinduan
Tidak akan terpetik hanya dengan memandang jejak langkah yang di tinggalkan


TELIK SANDI CINTA - puisi

TELIK SANDI CINTA
 Oleh : GK Camia Assyifa

Dari pucuk daun jati itu arjuna diam
Memandangku,memandangmu
Mencari sempat mencuri hati yang terlalu luluh lantak kehilangan cinta
Kabar-kabar yang tersebar terus diserap oleh lantunan kidung asmaradana
Hingga cakra-cakra para ksatria membelah sebagian angkasa
Membangunkan kembali bidadari rindu agar segera bangkit menemui sang surya
Jalan yang terpilih pada mega hitam segera benderang
Kelahiran,
Tumbuh dan berbaktilah hanya untuk memberikan cinta
Mereka yang terkubur dari putus asa harus segera dipulihkan kembali
hari ini,
Mumpung sang arjuna masih diam memandangku,memandangmu
Marilah kita mengucapkan kata rindu
Hingga tidak ada kelalaian bidadari untuk membangunkan mentari
Sinari bumi bestari rahayu dengan ribuan cinta,
bukan darah
Sinari bumi adi luhung dengan pekerti,bukan benci
Sinari bumi Sengkuyung dengan bhakti,bukan caci
Dari pucuk daun jati itu arjuna diam
Memandangku,memandangmu...


Mojokerto,25-05-2013

LANGIT HITAM PUTIH - puisi

LANGIT HITAM PUTIH

Siapa yang melukis langit pagi ini?
Warnanya hitam dan terus memutih
Wajahmu pucat,juga mereka pemuja kiamat
Doa-doa mengalir meminta para malaikat
Datang dan menyaksikan langit mulai menghitam dan memutih
Tiada cahaya,
Tiada warna biru angkasa,
Tiada api dari matahari
Hanya dingin dan mulai lebam
Mata-mata terperangah pada senandung sepoi airmata
Seperti kesepian semua berlari tanpa langkah
Menunggu keputusan,
Atau airmata terus menggenang melukis sebagian jiwa yang ketakutan

KIDUNG SEKARMAYA - puisi

KIDUNG SEKARMAYA

Sejak bunga musim panas yang tertanam mulai layu
Jiwa-jiwa telah kembali muram
Sajak mulai melepas malam
Dingin membawa angin rindu

Pada kidung sekarmaya semua terbang
Menari diantara keindahan bunga-bunga yang memang tiada
Hingga tubuh mulai lumpuh tiada lagi kata
Yang berpijak terjatuh dalam peluk rumah tanpa nama
Anyir mengalir semerbak wangi hitam menggenang

Kesendirian mulai menemukan imajinasi tanpa puisi
Tidak ada keindahan mengukir mimpi
Kidung sekarmaya menjadi pengingat sementara
Yang dicari bukanlah surga atau neraka melainkan keabadian

Neraka atau surga sama tidak berharga jika kita akan musnah
Terbang seperti debu hilang dalam kegelapan
Menembus setiap jalan yang terus menghilang
Jiwa-jiwa mati

Hati-hati tak lagi bisa mengingat masa
Atau tentang puisi liris yang pernah tercipta tak tercatat lagi
Nama menghilang berganti dengan maya

Sekat kenyataan  hanya datang dalam  impian 

Tulis - puisi

TULIS

Tulis aksara jiwamu yang mulai merindukanku
Hinggapkan pada ujung dedaunan yang ada disamping jendela kamarmu
Biarkan angin menerbangkannya pergi
Dan mataku mulai melihat kehadiran sepi

Tuliskan,
Rasakan setiap ujung penamu hanya menatap wajahku
Lalu biarkan tanganmu menari
Kidung-kidung lama akan kembali terkenang
Menyisipkan perkenalan kita ketika hitam putih
Engkau cemburu padaku kala itu
Hanya menyesak sesaat yang menjadikanmu menolak jiwaku

Tuliskan,
Bila setiap kerinduanmu akan menghasilkan mimpi tentang kita
Tentang perjumpaan terakhir menjelang perpisahan
Tentang engkau yang mulai lupa mengucapkan salam rindu
Tentang engkau yang mulai lupa menyisipkan hatimu
Tentang engkau yang mulai lupa kapan membenciku

Tuliskan,
Tulis aksara jiwamu yang mulai merindukanku
Hinggapkan pada seutas benang dan mulailah mengukir pelangi
Biarkan sepoi membisikkannya untukku sekali lagi
Dan akan kudengar setiap bisikan kerinduan hati