TITAH
Seorang
anak laki-laki itu masih sesenggukan di bawah kamboja. Di samping gundukan
tanah merah yang masih terlihat basah. Sementara gerimis seakan memainkan nada
sendu dari sebuah cerita dunia. Senja yang tadinya memerah semakin terlihat
kelam oleh awan hitam yang mulai menutup sebagian kalbu langit. Rinai hujan
yang sedikit demi sedikit mulai menderas tidak menyurutkan lelaki kecil itu. Ia
seakan mengadu pada gundukan tanah merah yang di dalamnya telah di makamkan
seorang ibu siang tadi.
Ibu
yang telah merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ibu yang dengan semangatnya telah
memberinya nafas kehidupan,memberi pegangan hidup berupa dongeng dan kisah
dikala waktu senggang. Terutama saat malam menjelang menuju peraduan.
Entah
pada siapa lagi Ia harus mengadu. Hidupnya kini telah sebatang kara. Bapaknya
telah meninggal dunia sebulan yang lalu karena mengalami kecelakaan. Entah
bagaimana lagi Ia akan hidup,sementara tidak ada lagi sosok penopang kehidupannya
di dunia yang fana ini. Tidak ada lagi harta yang bisa di harapkan,Rumah bambu yang
selama ini ditinggali bukanlah milik mereka. Rumah yang mulai ringkih dimakan
usia itu hanyalah sebuah rumah kontrakan.
Airmata
lelaki kecil itu semakin menderas,sederas hujan yang terus membasahi dan
menghapus jejak para pelayat yang tadi siang mengantarkan sang ibu ke tempat
peristirahatan terakhirnya.
Sementara
itu,seorang pemuda masih tetap berdiri di pintu makam. Matanya jauh menerawang
ke ujung langit. Membiarkan tetes-tetes air hujan membasahi wajahnya yang mulai
kuyu. Awan duka seakan turut larut menyelimuti kegalauan jiwanya. Hujan yang
terus menderas, sesekali disertai suara petir yang menggelegar. Pemuda itu
masih tetap diam,hatinya serasa di cabik-cabik rasa bersalah yang sangat
mendalam. Tiba-tiba tubuhnya terasa lunglai,pikirannya melayang jauh pada sang
ibunda tercinta.
Pemuda
yang bernama Hafidz itu tanpa gerak dan suara. Mulutnya gemeretak menahan
dingin dan gejolak di hatinya yang tidak padam tersiram hujan.Bahkan gemuruh di
hatinya semakin berkobar seperti minyak tanah yang tersulut api.
* * * *
Dua hari
yang lalu,
“
Kalau kamu ingin bertahan bekerja disini,kamu harus bisa menagih para nasabah itu
dengan cara apapun !!!”.
“
Tapi pak,saya sudah berusaha dengan semua cara termasuk mendatangi rumah mereka
berkali- kali dalam sehari dan selalu saja beribu alasan yang mereka kemukakan”.
Hafidz mencoba memberikan alasan kepada atasannya.
“
Saya tidak mau mendengar alasanmu lagi !!!.Pokoknya besok kami harus bisa
menagih uang kerumah Bu Parni,baik dengan cara halus maupun dengan cara
kekerasan”. Suara sang bos merendah sambil mendekatkan bibirnya ke telinga
Hafidz yang sedang duduk. Walau sepelan apapun suara itu,tetap saja sangat
menusuk di telinganya.Seperti tusukan pedang yang menyayat dan merobek hatinya. Mendengar kata kekerasan
seakan mendengar petir di siang bolong. Petir yang tiba-tiba menggelegar tanpa
di dahului awan hitam ataupun angin kencang.
“
Masya Allah,tapi cara- cara seperti itu tidak di benarkan dalam ajaran agama
kita Pak. Apa tidak lebih baik kita
menggunakan cara- cara yang lebih halus ?”.
“
Bah...Persetan kamu dengan semua aturan agamamu itu. Saya hanya ingin kamu
berhasil menagih uang itu besok, titik!!!. Atau kamu mau saya berhentikan
sekarang juga? Sudah berapa bulan kamu bekerja sebagai Debt Collector di tempat
ini,berapa nasabah yang sudah berhasil kamu tagih ? hasilnya nihil.Nol Besar !!.Dasar
pemuda kampung,Menyesal aku menerima kamu bekerja disini”.
“
Baik pak,saya akan berusaha sebaik mungkin”.
“
Saya tidak butuh janji- janji dari kamu,saya ingin bukti.Kalau sampai besok
kamu tidak berhasil menagih uang itu,lebih baik kamu berhenti saja !!!” Suara
sang Bos menghantam dinding telinganya,di pantulkan berkali – kali hingga
menggema. Sebuah bantingan daun pintu mengakhiri pertemuan tersebut. Menyisakan
sepenggal sesak di dada Hafidz.
Hafidz
hanya bisa termenung sendiri,pikirannya melayang tanpa terkendali. Sudah
benarkah Ia bekerja disini? Pertanyaan tersebut selalu menggelayut dalam setiap
diamnya. Batinnya selalu berontak saat
Ia melihat mata- mata polos para nasabah yang lagi kesulitan keuangan itu. Kenapa
justru timbul rasa kasihan yang mendalam dan perasaan tidak tega untuk menagih
bunga dari hutang yang menggunung itu. Apalagi bila melihat dengan mata
kepalanya sendiri keadaan yang cukup memperihatinkan,batinnya serasa terkoyak,jiwanya
miris. Rumah- rumah yang jauh dari kata kokoh,genting yang bocor disana-sini,gedeg yang mulai banyak berlubang
dimakan rayap, bahkan lantai tanah yang berdebu bila tertiup angin juga becek
saat air hujan menggenang.
“Duh
Gusti,sanggupkah Hamba menagih hutang pada saudara-saudara hamba yang seperti
ini. Dan lagi,ini adalah bunga hutang. Ini riba...Ya Rabb,sanggupkah hamba menjalaninya?
“ Gumam Hafidz. Hampir setiap malam dalam lantunan Dzikirnya hafidz selalu
berusaha untuk mengadu,menumpahkan segala kegalauhan isi hatinya yang paling
dalam. Hanya dengan begitu hatinya terasa tentram. Namun,setiap pagi menjelang
pikirannya akan kembali kacau. Angannya akan selalu bercabang dua. Salah satu
ingin membela saudara-saudara seiman yang berhutang itu. Dan disisi lain,Ia
harus menjalankan titah yang di berikan
kepadanya. Ia berusaha mematuhi kontrak kerja yang telah di tandatangani selama
satu tahun tersebut. Meskipun telah dua bulan berjalan dan tidak satupun
nasabah yang berhasil di tagihnya.
* * *
Satu Bulan yang lalu,
Pagi
ini,pak Pairan suami dari bu Parni berjanji akan melunasi sisa hutang mereka. Termasuk bunga pinjaman yang mulai menumpuk selama kurang
lebih tiga tahun terakhir itu. Berhutang merupakan satu- satunya cara bagi
mereka untuk menyelamatkan anak semata wayangnya yang baru saja mengalami
kecelakaan. Bocah delapan tahun tersebut terserempet oleh pawai kendaraan
seorang pejabat yang tengah melakukan kunjungan kerja melewati jalan desa
mereka. Saat itu,Tegar kecil sedang berjalan bersama teman-temannya ketika
pulang sekolah. Tiba-tiba iring-iringan mobil pejabat itu melintas dan salah
satunya hilang kendali hingga keluar bahu jalan dan menyerempet Tegar bersama
dua temannya yang lain.
Nahas
bagi Tegar,ia mengalami luka paling para diantara kedua temannya yang lain. Dua
teman tegar hanya mengalami luka ringan. Sedangkan Tegar,tubuhnya sempat
terseret sejauh lima meter. Darah bercucuran di kepala bocah tersebut. Juga
luka lecet di tangan dan kakinya. Beberapa orang tetangga yang melihat kejadian
tersebut segera melarikannya kerumah sakit. Kepala bocah itu harus segera di
operasi untuk mengeluarkan gumpalan darah akibat benturan keras yang di
alami,juga menjahit beberapa luka di sekitar kepala.
Akhirnya,
tanpa pikir panjang demi menyelamatkan sang anak. Pak Pairan memutuskan untuk
meminjam uang pada salah satu Koperasi Simpan Pinjam. Ia tahu, bahwa bunga yang
besar akan mencekik penghasilannya yang hanya cukup buat makan sehari – hari
tersebut. Namun,pak Pairan juga sadar kemana lagi harus mencari uang sebanyak
itu? Sedang dari tetangga yang pedulipun hanya terkumpul uang yang kurang lebih
hanya cukup untuk membeli sebagian obat. Dari pejabat yang menabrak? Ucapan
maaf pun tidak pernah terlontar,apalagi santunan biaya yang di harapkan.
Hari
ini Hafidz sangat yakin akan mendapatkan angsuran dari keluarga pak Pairan .Ia
mulai memilah beberapa baju terbaik dan sesopan mungkin untuk bertemu keluarga
bersahaja tersebut. Setelah lama berkutat di depan cermin,pilihannya jatuh
kepada baju hitam dan celana abu- abu miliknya. Entah mengapa Ia merasa begitu
cocok memakai pakaian tersebut pada hari itu. Setelah di rasa cukup,dengan
percaya diri Hafidz menuju rumah pak Pairan. Sepanjang perjalanan kerumah
tersebut ia terus menerus bersiul dan bersenandung. Perasaan suka cita bergumul
dalam hati kecilnya. Bukan hanya karena terlihat tampan dengan setelan baju dan
celananya,tapi hari ini Ia akan mendapat setoran pertama untuk sang bos. Hafidz
sudah membayangkan bahwa sang bos pasti tersenyum melihat hasil kerjanya,juga
pujian dan ucapan selamat yang akan mengalir deras dari teman-teman sejawatnya.
Mendekati
kelokan terakhir mendekati rumah pak Pairan,rupanya banyak orang yang berjalan
menuju arah yang sama dengannya. Semakin mendekat kerumah,semakin banyak saja
orang yang berjalan kesana. Terlihat beberapa orang berkerumun di depan rumah
tersebut. Tak pelak rasa penasaran menggelayut di pikiran Hafidz,ada acara apa
gerangan hingga rumah tersebut seramai ini. Tidak seperti biasanya rumah yang
terbuat dari bambu itu di kunjungi banyak orang. Apakah ini sambutan yang
dipersiapkan untuk dirinya.
“ Maaf pak,ada acara apa ya. Sehingga rumah
pak Pairan ramai tidak seperti biasanya?” Hafidz memberanikan diri bertanya
kepada orang yang di temuinya.
“
Oh... ini mas,tadi pagi pak Pairan meninggal dunia karena kecelakaan. Sewaktu
berangkat kerja,beliau tertabrak sebuah sepeda motor yang melaju kencang. Dan
hingga saat ini pengemudi sepeda motor tersebut melarikan diri”.
“
Innalilahi wa inna Ilaihi Roji’un........” Desis Hafidz panjang.
“
Iya mas, kasihan sekali keluarga pak Pairan. Sudah hidupnya susah,saat ini
malah kehilangan tulang punggung keluarga. Apalagi tidak satupun kerabat mereka
ada di kampung ini. Kabar yang saya dengar,keluarga ini berasal dari luar jawa
sana mas. Mereka pindah ke Jawa karena ingin mengadu nasib,eh...tidak tahunya
malah seperti ini”.
“
Inggih pak,sungguh malang nasib keluarga mereka....”.
***
Rinai hujan mulai berhenti,senja
telah beranjak menuju peraduan terakhirnya.Gelap mulai menyelimuti jalanan
berbatu.Satu tangkai bunga kamboja luruh dan menimpa telapak tangan Tegar.Bocah
itu terlihat sangat lemah, tubuh keringnya terlihat tanpa daya semangat. Matanya
masih memandang kosong pada tegaknya batu nisan sang ibu.Disebelah makam
itu,sang Bapak telah bersemayam terlebih dahulu sebulan yang lalu.
Hafidz beranjak dari tempatnya
berdiri,menghampiri bocah sebatang kara tersebut. Dengan lembut di usapnya
rambut bocah malang yang telah kehilangan kedua orang tuanya itu.
Sebenarnya tujuan Hafidz datang
siang itu adalah untuk menagih uang pada bu Parni. Uang itu telah di janjikan
oleh beliau sejak tiga hari yang lalu. Bahkan beliau berjanji akan melunasi
semua hutang beserta bunga pinjaman seperti yang pernah di janjikan Almarhum
suaminya satu bulan yang lalu. Namun, rupanya takdir berkata lain. Pagi
ini,Ketika temaram subuh masih mencengkeram rahim malam. Bu Parni yang berniat
mengambil air wudhu sekaligus menimba air untuk memasak dari
sungai,terjatuh.Kakinya terpeleset tanah becek setelah di guyur hujan
semalamam. Pada saat terjatuh itulah,kepalanya terantuk batu kali hingga
menimbulkan luka yang menganga. Tubuhnya yang limbung pun akhirnya tercebur ke
kedalam sungai yang airnya mengalir cukup deras.
Beberapa jam kemudian tubuh hanyut
itu di temukan tersangkut pada sebuah batu besar. Mayat itu sempat di bawa ke
Puskesmas untuk mendapat pengobatan. Akan tetapi,ternyata beliau telah
meninggal dunia sejak hanyut di sungai. Kabar kematian itu cepat sekali
menyebar,para warga kampung pun segera memakamkan mayat bu Parni di samping
makam suaminya.
Entah
apa yang akan dilakukannya benar atau salah,Hafidz berniat membawa pulang Tegar
kerumah Ibunya. Ia sudah memperhitungkan segala resiko yang akan di tanggung. Termasuk
Ibunya yang akan marah karena tiba-tiba saja ia membawa pulang seorang anak. Apalagi
niatnya untuk merawat anak sebelas tahun tersebut akan membebani kehidupan
mereka yang sampai saat ini belum mapan secara ekonomi.
Apa yang diingat Hafidz hanyalah
salah satu hadist Rosululloh Muhammad SAW yaitu tentang kemuliaan orang yang
merawat anak yatim piatu. Hari ini pun ia telah berjanji dalam lubuk hatinya
yang terdalam bahwa mulai besok ia akan mengundurkan diri dari pekerjaannya
sebagai pegawai salah satu Koperasi Simpan Pinjam yang menyediakan jasa Debt
Collector tersebut.
Baginya,rejeki yang halal harus
diperoleh dengan cara-cara yang halal dan pada tempat yang halal. Dengan
demikian,ia tidak akan lagi mendapatkan perintah untuk memaksa saudara-saudara
seimannya agar membayar hutang dengan bunga yang selangit tersebut.Ia juga
berjanji dalam hati bahwa besok,semua gaji yang pernah di terima selama dua
bulan bekerja akan segera di kembalikan. Ia merasa tidak berhak menerima gaji
tersebut karena tidak pernah sekalipun berhasil menagih uang kepada para
nasabah.
Selain itu,ada keinginan untuk
membayar semua hutang dari keluarga pak Pairan dan bu Parni suatu saat nanti. Ketika
Ia telah bekerja dan hidupnya mulai mapan. Hafidz sangat menyesal ketika Ia
pernah melanggar titah yang di berikan sang ibu sebelum Ia bekerja. Sebuah
nasehat sederhana yang pernah dilupakannya itu lah yang akan Ia tebus setelah pulang
nanti. Sebuah perintah sederhana yang bagi sebagian orang sangat sepele tapi
sangat besar manfaatnya. Rupanya kejadian ini telah membuka tabir jalan
kehidupan Hafidz.
Ia ingin pulang. Ingin merawat
satu-satunya peninggalan almarhum ayahnya yang telah meninggal dua tahun yang
lalu seperti yang telah di perintahkan sang ibu. Dengan segenap semangat yang
tersisa Hafidz melangkahkan kaki. Di gandengnya tangan Tegar untuk berjalan
bersama,meniti jalan berbatu dan kerikil yang kadang menghadang mereka bersama-
sama. Dengan tekad yang kuat,Hafidz akan mulai belajar menggarap sawah di
kampung halamannya. Berusaha menikmati sedikit demi sedikit keringat yang akan
tumbuh dan berbulir tubuhnya. Belajar memaknai hujan dan kemarau panjang. Belajar
menghargai tumbuhnya rasa penasaran atas tunas yang akan tumbuh hingga bulir
yang mulai menguning. Dan yang paling penting adalah belajar mematuhi titah dari orang tua dari pada sekedar titah orang lain. Karena sebaik-baiknya
orang adalah yang mematuhi segala perintah yang diberikan oleh ibunya,asalkan
perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah SWT dan RosulNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar