Kamis, 09 Oktober 2014

Titah - cerpen

TITAH


            Seorang anak laki-laki itu masih sesenggukan di bawah kamboja. Di samping gundukan tanah merah yang masih terlihat basah. Sementara gerimis seakan memainkan nada sendu dari sebuah cerita dunia. Senja yang tadinya memerah semakin terlihat kelam oleh awan hitam yang mulai menutup sebagian kalbu langit. Rinai hujan yang sedikit demi sedikit mulai menderas tidak menyurutkan lelaki kecil itu. Ia seakan mengadu pada gundukan tanah merah yang di dalamnya telah di makamkan seorang ibu siang tadi.
Ibu yang telah merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ibu yang dengan semangatnya telah memberinya nafas kehidupan,memberi pegangan hidup berupa dongeng dan kisah dikala waktu senggang. Terutama saat malam menjelang menuju peraduan.
Entah pada siapa lagi Ia harus mengadu. Hidupnya kini telah sebatang kara. Bapaknya telah meninggal dunia sebulan yang lalu karena mengalami kecelakaan. Entah bagaimana lagi Ia akan hidup,sementara tidak ada lagi sosok penopang kehidupannya di dunia yang fana ini. Tidak ada lagi harta yang bisa di harapkan,Rumah bambu yang selama ini ditinggali bukanlah milik mereka. Rumah yang mulai ringkih dimakan usia itu hanyalah sebuah rumah kontrakan.
Airmata lelaki kecil itu semakin menderas,sederas hujan yang terus membasahi dan menghapus jejak para pelayat yang tadi siang mengantarkan sang ibu ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Sementara itu,seorang pemuda masih tetap berdiri di pintu makam. Matanya jauh menerawang ke ujung langit. Membiarkan tetes-tetes air hujan membasahi wajahnya yang mulai kuyu. Awan duka seakan turut larut  menyelimuti kegalauan jiwanya. Hujan yang terus menderas, sesekali disertai suara petir yang menggelegar. Pemuda itu masih tetap diam,hatinya serasa di cabik-cabik rasa bersalah yang sangat mendalam. Tiba-tiba tubuhnya terasa lunglai,pikirannya melayang jauh pada sang ibunda tercinta.
Pemuda yang bernama Hafidz itu tanpa gerak dan suara. Mulutnya gemeretak menahan dingin dan gejolak di hatinya yang tidak padam tersiram hujan.Bahkan gemuruh di hatinya semakin berkobar seperti minyak tanah yang tersulut api.
* * * *
   Dua hari yang lalu,
“ Kalau kamu ingin bertahan bekerja disini,kamu harus bisa menagih para nasabah itu dengan cara apapun !!!”.
“ Tapi pak,saya sudah berusaha dengan semua cara termasuk mendatangi rumah mereka berkali- kali dalam sehari dan selalu saja beribu alasan yang mereka kemukakan”. Hafidz mencoba memberikan alasan kepada atasannya.
“ Saya tidak mau mendengar alasanmu lagi !!!.Pokoknya besok kami harus bisa menagih uang kerumah Bu Parni,baik dengan cara halus maupun dengan cara kekerasan”. Suara sang bos merendah sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Hafidz yang sedang duduk. Walau sepelan apapun suara itu,tetap saja sangat menusuk di telinganya.Seperti tusukan pedang yang menyayat  dan merobek hatinya. Mendengar kata kekerasan seakan mendengar petir di siang bolong. Petir yang tiba-tiba menggelegar tanpa di dahului awan hitam ataupun angin kencang.
“ Masya Allah,tapi cara- cara seperti itu tidak di benarkan dalam ajaran agama kita  Pak. Apa tidak lebih baik kita menggunakan cara- cara yang lebih halus ?”.
“ Bah...Persetan kamu dengan semua aturan agamamu itu. Saya hanya ingin kamu berhasil menagih uang itu besok, titik!!!. Atau kamu mau saya berhentikan sekarang juga? Sudah berapa bulan kamu bekerja sebagai Debt Collector di tempat ini,berapa nasabah yang sudah berhasil kamu tagih ? hasilnya nihil.Nol Besar !!.Dasar pemuda kampung,Menyesal aku menerima kamu bekerja disini”.
“ Baik pak,saya akan berusaha sebaik mungkin”.
“ Saya tidak butuh janji- janji dari kamu,saya ingin bukti.Kalau sampai besok kamu tidak berhasil menagih uang itu,lebih baik kamu berhenti saja !!!” Suara sang Bos menghantam dinding telinganya,di pantulkan berkali – kali hingga menggema. Sebuah bantingan daun pintu mengakhiri pertemuan tersebut. Menyisakan sepenggal sesak di dada Hafidz.
Hafidz hanya bisa termenung sendiri,pikirannya melayang tanpa terkendali. Sudah benarkah Ia bekerja disini? Pertanyaan tersebut selalu menggelayut dalam setiap diamnya.  Batinnya selalu berontak saat Ia melihat mata- mata polos para nasabah yang lagi kesulitan keuangan itu. Kenapa justru timbul rasa kasihan yang mendalam dan perasaan tidak tega untuk menagih bunga dari hutang yang menggunung itu. Apalagi bila melihat dengan mata kepalanya sendiri keadaan yang cukup memperihatinkan,batinnya serasa terkoyak,jiwanya miris. Rumah- rumah yang jauh dari kata kokoh,genting yang bocor disana-sini,gedeg yang mulai banyak berlubang dimakan rayap, bahkan lantai tanah yang berdebu bila tertiup angin juga becek saat air hujan menggenang.
“Duh Gusti,sanggupkah Hamba menagih hutang pada saudara-saudara hamba yang seperti ini. Dan lagi,ini adalah bunga hutang. Ini riba...Ya Rabb,sanggupkah hamba menjalaninya? “ Gumam Hafidz. Hampir setiap malam dalam lantunan Dzikirnya hafidz selalu berusaha untuk mengadu,menumpahkan segala kegalauhan isi hatinya yang paling dalam. Hanya dengan begitu hatinya terasa tentram. Namun,setiap pagi menjelang pikirannya akan kembali kacau. Angannya akan selalu bercabang dua. Salah satu ingin membela saudara-saudara seiman yang berhutang itu. Dan disisi lain,Ia harus menjalankan titah  yang di berikan kepadanya. Ia berusaha mematuhi kontrak kerja yang telah di tandatangani selama satu tahun tersebut. Meskipun telah dua bulan berjalan dan tidak satupun nasabah yang berhasil di tagihnya.

* * *
Satu Bulan yang lalu,
Pagi ini,pak Pairan suami dari bu Parni berjanji akan melunasi sisa hutang mereka. Termasuk  bunga pinjaman yang mulai menumpuk selama kurang lebih tiga tahun terakhir itu. Berhutang merupakan satu- satunya cara bagi mereka untuk menyelamatkan anak semata wayangnya yang baru saja mengalami kecelakaan. Bocah delapan tahun tersebut terserempet oleh pawai kendaraan seorang pejabat yang tengah melakukan kunjungan kerja melewati jalan desa mereka. Saat itu,Tegar kecil sedang berjalan bersama teman-temannya ketika pulang sekolah. Tiba-tiba iring-iringan mobil pejabat itu melintas dan salah satunya hilang kendali hingga keluar bahu jalan dan menyerempet Tegar bersama dua temannya yang lain.
Nahas bagi Tegar,ia mengalami luka paling para diantara kedua temannya yang lain. Dua teman tegar hanya mengalami luka ringan. Sedangkan Tegar,tubuhnya sempat terseret sejauh lima meter. Darah bercucuran di kepala bocah tersebut. Juga luka lecet di tangan dan kakinya. Beberapa orang tetangga yang melihat kejadian tersebut segera melarikannya kerumah sakit. Kepala bocah itu harus segera di operasi untuk mengeluarkan gumpalan darah akibat benturan keras yang di alami,juga menjahit beberapa luka di sekitar kepala.
Akhirnya, tanpa pikir panjang demi menyelamatkan sang anak. Pak Pairan memutuskan untuk meminjam uang pada salah satu Koperasi Simpan Pinjam. Ia tahu, bahwa bunga yang besar akan mencekik penghasilannya yang hanya cukup buat makan sehari – hari tersebut. Namun,pak Pairan juga sadar kemana lagi harus mencari uang sebanyak itu? Sedang dari tetangga yang pedulipun hanya terkumpul uang yang kurang lebih hanya cukup untuk membeli sebagian obat. Dari pejabat yang menabrak? Ucapan maaf pun tidak pernah terlontar,apalagi santunan biaya yang di harapkan.
Hari ini Hafidz sangat yakin akan mendapatkan angsuran dari keluarga pak Pairan .Ia mulai memilah beberapa baju terbaik dan sesopan mungkin untuk bertemu keluarga bersahaja tersebut. Setelah lama berkutat di depan cermin,pilihannya jatuh kepada baju hitam dan celana abu- abu miliknya. Entah mengapa Ia merasa begitu cocok memakai pakaian tersebut pada hari itu. Setelah di rasa cukup,dengan percaya diri Hafidz menuju rumah pak Pairan. Sepanjang perjalanan kerumah tersebut ia terus menerus bersiul dan bersenandung. Perasaan suka cita bergumul dalam hati kecilnya. Bukan hanya karena terlihat tampan dengan setelan baju dan celananya,tapi hari ini Ia akan mendapat setoran pertama untuk sang bos. Hafidz sudah membayangkan bahwa sang bos pasti tersenyum melihat hasil kerjanya,juga pujian dan ucapan selamat yang akan mengalir deras dari teman-teman sejawatnya.
Mendekati kelokan terakhir mendekati rumah pak Pairan,rupanya banyak orang yang berjalan menuju arah yang sama dengannya. Semakin mendekat kerumah,semakin banyak saja orang yang berjalan kesana. Terlihat beberapa orang berkerumun di depan rumah tersebut. Tak pelak rasa penasaran menggelayut di pikiran Hafidz,ada acara apa gerangan hingga rumah tersebut seramai ini. Tidak seperti biasanya rumah yang terbuat dari bambu itu di kunjungi banyak orang. Apakah ini sambutan yang dipersiapkan untuk dirinya.
 “ Maaf pak,ada acara apa ya. Sehingga rumah pak Pairan ramai tidak seperti biasanya?” Hafidz memberanikan diri bertanya kepada orang yang di temuinya.
“ Oh... ini mas,tadi pagi pak Pairan meninggal dunia karena kecelakaan. Sewaktu berangkat kerja,beliau tertabrak sebuah sepeda motor yang melaju kencang. Dan hingga saat ini pengemudi sepeda motor tersebut melarikan diri”.
“ Innalilahi wa inna Ilaihi Roji’un........” Desis Hafidz panjang.
“ Iya mas, kasihan sekali keluarga pak Pairan. Sudah hidupnya susah,saat ini malah kehilangan tulang punggung keluarga. Apalagi tidak satupun kerabat mereka ada di kampung ini. Kabar yang saya dengar,keluarga ini berasal dari luar jawa sana mas. Mereka pindah ke Jawa karena ingin mengadu nasib,eh...tidak tahunya malah seperti ini”.
“ Inggih pak,sungguh malang nasib keluarga mereka....”.

***
            Rinai hujan mulai berhenti,senja telah beranjak menuju peraduan terakhirnya.Gelap mulai menyelimuti jalanan berbatu.Satu tangkai bunga kamboja luruh dan menimpa telapak tangan Tegar.Bocah itu terlihat sangat lemah, tubuh keringnya terlihat tanpa daya semangat. Matanya masih memandang kosong pada tegaknya batu nisan sang ibu.Disebelah makam itu,sang Bapak telah bersemayam terlebih dahulu sebulan yang lalu.
            Hafidz beranjak dari tempatnya berdiri,menghampiri bocah sebatang kara tersebut. Dengan lembut di usapnya rambut bocah malang yang telah kehilangan kedua orang tuanya itu.
            Sebenarnya tujuan Hafidz datang siang itu adalah untuk menagih uang pada bu Parni. Uang itu telah di janjikan oleh beliau sejak tiga hari yang lalu. Bahkan beliau berjanji akan melunasi semua hutang beserta bunga pinjaman seperti yang pernah di janjikan Almarhum suaminya satu bulan yang lalu. Namun, rupanya takdir berkata lain. Pagi ini,Ketika temaram subuh masih mencengkeram rahim malam. Bu Parni yang berniat mengambil air wudhu sekaligus menimba air untuk memasak dari sungai,terjatuh.Kakinya terpeleset tanah becek setelah di guyur hujan semalamam. Pada saat terjatuh itulah,kepalanya terantuk batu kali hingga menimbulkan luka yang menganga. Tubuhnya yang limbung pun akhirnya tercebur ke kedalam sungai yang airnya mengalir cukup deras.
            Beberapa jam kemudian tubuh hanyut itu di temukan tersangkut pada sebuah batu besar. Mayat itu sempat di bawa ke Puskesmas untuk mendapat pengobatan. Akan tetapi,ternyata beliau telah meninggal dunia sejak hanyut di sungai. Kabar kematian itu cepat sekali menyebar,para warga kampung pun segera memakamkan mayat bu Parni di samping makam suaminya.
           
Entah apa yang akan dilakukannya benar atau salah,Hafidz berniat membawa pulang Tegar kerumah Ibunya. Ia sudah memperhitungkan segala resiko yang akan di tanggung. Termasuk Ibunya yang akan marah karena tiba-tiba saja ia membawa pulang seorang anak. Apalagi niatnya untuk merawat anak sebelas tahun tersebut akan membebani kehidupan mereka yang sampai saat ini belum mapan secara ekonomi.
            Apa yang diingat Hafidz hanyalah salah satu hadist Rosululloh Muhammad SAW yaitu tentang kemuliaan orang yang merawat anak yatim piatu. Hari ini pun ia telah berjanji dalam lubuk hatinya yang terdalam bahwa mulai besok ia akan mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pegawai salah satu Koperasi Simpan Pinjam yang menyediakan jasa Debt Collector tersebut.
            Baginya,rejeki yang halal harus diperoleh dengan cara-cara yang halal dan pada tempat yang halal. Dengan demikian,ia tidak akan lagi mendapatkan perintah untuk memaksa saudara-saudara seimannya agar membayar hutang dengan bunga yang selangit tersebut.Ia juga berjanji dalam hati bahwa besok,semua gaji yang pernah di terima selama dua bulan bekerja akan segera di kembalikan. Ia merasa tidak berhak menerima gaji tersebut karena tidak pernah sekalipun berhasil menagih uang kepada para nasabah.
            Selain itu,ada keinginan untuk membayar semua hutang dari keluarga pak Pairan dan bu Parni suatu saat nanti. Ketika Ia telah bekerja dan hidupnya mulai mapan. Hafidz sangat menyesal ketika Ia pernah melanggar titah yang di berikan sang ibu sebelum Ia bekerja. Sebuah nasehat sederhana yang pernah dilupakannya itu lah yang akan Ia tebus setelah pulang nanti. Sebuah perintah sederhana yang bagi sebagian orang sangat sepele tapi sangat besar manfaatnya. Rupanya kejadian ini telah membuka tabir jalan kehidupan Hafidz.

            Ia ingin pulang. Ingin merawat satu-satunya peninggalan almarhum ayahnya yang telah meninggal dua tahun yang lalu seperti yang telah di perintahkan sang ibu. Dengan segenap semangat yang tersisa Hafidz melangkahkan kaki. Di gandengnya tangan Tegar untuk berjalan bersama,meniti jalan berbatu dan kerikil yang kadang menghadang mereka bersama- sama. Dengan tekad yang kuat,Hafidz akan mulai belajar menggarap sawah di kampung halamannya. Berusaha menikmati sedikit demi sedikit keringat yang akan tumbuh dan berbulir tubuhnya. Belajar memaknai hujan dan kemarau panjang. Belajar menghargai tumbuhnya rasa penasaran atas tunas yang akan tumbuh hingga bulir yang mulai menguning. Dan yang paling penting adalah belajar mematuhi titah dari orang tua dari pada sekedar titah orang lain. Karena sebaik-baiknya orang adalah yang mematuhi segala perintah yang diberikan oleh ibunya,asalkan perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah SWT dan RosulNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar