Senin, 06 Oktober 2014

Sepucuk Surat Kepada Tomcat - cerpen

SEPUCUK SURAT KEPADA TOMCAT
           
            Pagi ini matahari bersinar tidak sederas kemarin. Sinarnya teduh sejak pagi. Kepulan awan bergulung menutup sebagian atap langit,hanya sesekali sinar mentari menyembul lalu kembali tenggelam dalam selimut kabut. Dingin rupanya telah menyirap sebagian penduduk di kaki Penanggungan ini. Tidak banyak orang yang pergi ke sawah seperti biasanya. Selain karena beberapa orang yang baru saja menelesaikan panen,sebagian yang lain juga merasa malas untuk pergi ke sawah. Serangan hama wereng akhir-akhir ini telah membuat petani di desa ini ketar-ketir. Hasil panen yang menurun drastis dari tahun kemarin menjadi pertimbangan yang sangat nyata.
            Begitupun dengan pak Santiko. Rupanya lelaki tua yang baru saja di tinggal mati sang istri tersebut juga malas pergi ke sawah. Padinya yang mulai berumur satu bulan menjadi alasan. Ia seakan ingin memasrahkan kehidupan padinya pada takdir yang di berikan Sang Maha Kuasa. Padi yang hanya seperdelapan hektar itu tidak bisa lagi di harapkan hasilnya. Uang apalagi yang akan digunakan untuk membeli obat pertanian yang setiap hari harganya terus naik. Seperti biasa hukum pasar akan berlaku,dimana ketika permintaan tinggi harga kebutuhan akan naik dan melambung tinggi. Apalagi ini hanyalah sawah sewa. Kebetulan pak Rudi orang terpandang dan paling kaya di kampung ini menyewakan sebagian besar sawahnya kepada para buruh tani dengan harga yang cukup murah. Kegagalan panen tahun lalu ternyata cukup memukul orang yang sebelumnya terkenal sangat kikir ini.
            Ia tidak ingin mengulangi kegagalan tersebut. Karena ternyata dengan obat-obatan mahal belum menjamin hasil panen akan melimpah. Terutama saat musim hama wereng yang dengan ganas menyerang padi seperti saat ini. Jadilah pak Rudi menyewakan banyak sawahnya,termasuk kepada pak Santiko. Harga yang cukup murah menjadi pertimbangan orang tua tersebut. Ia tidak lagi berpikir bagaimana nanti sulitnya mencari sesuap nasi sambil menunggu hasil panen padinya. Juga beratnya mencari biaya untuk membeli obat-obat pertanian. Sedang untuk pupuk pertanian pak Santiko tidak usah bingung memikirkannya. Seekor sapi yang di pelihara di belakang rumah bambunya selalu menghasilkan pupuk berkualitas tinggi.
            “ Bapak tidak pergi ke sawah hari ini ?” tanya Tini,anak semata wayang pak Santiko dengan almarhumah bu Rhodiah,atau yang lebih akrab di panggil bu Tini tersebut. Tini yang saat ini telah berusia sekitar lima belas tahun, baru saja lulus dari sebuah Madrasah Tsanawiyah dan hingga detik ini tidak melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Begitulah kebiasaan di kampung tersebut. Selepas menempuh pendidikan setingkat Sekolah Menengah Pertama mereka akan berhenti sekolah, kecuali anak-anak yang orang tuanya memiliki harta  berlebih atau merupakan orang terpandang di kampung ini. Termasuk keluarga pak Rudi, dua anaknya saat ini telah menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi di kota. Seorang di antaranya hampir menyelesaikan tugas akhir dan sebentar lagi akan di wisuda. Yang seorang lagi baru saja menempuh semester pertama. Sementara itu banyak anak yang lain hanya menamatkan pendidikan mereka hanya pada jenjang Sekolah Dasar atau madrasah Ibtidaiyah.
            Sebenarnya Tini sangat ingin melanjutkan sekolah hingga jenjang Sekolah Menengah Atas. Namun apalah daya,keluarganya mengalami keterbatasan biaya. Bahkan selama di Madrasah  Tsanawiyah pun kalau tidak terbantu oleh beasiswa miskin entah apa jadinya nasib pendidikan Tini.
              “ Tidak nduk,tidak ada orang yang menyuruh bapak bekerja di sawah mereka hari ini. Sedang sawah kita sendiri  kemarin malam telah bapak aliri air”.
              “ Oh iya pak,bagaimana kabar sawah kita? Tini dengar banyak sawah tetangga kita yang mengalami gagal panen.Apakah sawah kita baik-baik saja pak?”
              “ Sementara ini sawah kita baik-baik saja nduk.Doakan saja hama wereng tidak menyerang di sawah kita,apalagi kita tidak memiliki biaya lagi untuk membeli obat-obatan pertanian yang katanya mahal itu”.
              “ Memang,sudah tidak ada cara lain lagi untuk menghalau hama wereng tersebut selain dengan obat-obatan insektisida tersebut Pak?”
              “ Sebenarnya ada nduk. Ada salah satu jenis serangga yang merupakan musuh dari hama wereng tersebut. Namanya adalah hewan Tomcat. Namun entah mengapa tiba-tiba saja jenis serangga ini menghilang justru ketika hama wereng mulai menyerang. Kabarnya, penggunaan insektisida dan pestisida yang berlebihan menjadi salah satu sebab migrasinya serangga tersebut. Selain itu,banyaknya lahan pertanian yang tergusur menjadi perumahan juga menjadi sebab. Belum lagi kemarau panjang musim tanam yang lalu yang tentu saja merubah pola tanam kita dari menanam padi menjadi menanam jagung dan ketela. Bahkan beberapa orang malah enggan menanami sawahnya karena sulitnya mendapatkan air untuk mengairi sawahnya”.
              “ Sudahlah nduk,lebih baik kita tidak terlalu berpikir tentang sawah kita dulu. Sebaiknya sekarang kita sarapan.Kamu sudah masak  kan nduk ?” tambah pak Santiko.
              “  Iya Pak,tadi pagi Tini sudah memasak.Nasi dan lauknya ada di dapur,Tini Ambilkan dulu ya pak”.


             “ Pak....pak Santiko,buka pintu pak !!! Pak Santiko....!”.Duk...Duk...Duk...pintu bambu itu di ketuk dari luar.
            “ Sebentar...,siapa diluar ?”
            “ Ini Joko pak,cepat pak Santiko...cepat...!!!”
            “ Ada apa lagi Joko,kok sepertinya kamu terburu-buru begitu ? ”.  Tanya pak Santiko sekali lagi sambil membuka pintu rumah.
            “ Anu pak...,ini...aduh...bagaimana ini ngomongnya...?”
            “ Kamu ini kenapa toh Jok,..... Datang buru- buru,tidak pakai salam, malah sekarang ngomongnya belepotan...Sebenarnya ada apa ? Ngomong yang jelas,yang terang jangan berbelit-belit seperti ini ”.
            “ Itu Pak,pak Rudi dan pak Oni sekarang sedang bertengkar...mereka sekarang ada disawah bapak. Tampaknya pak Oni tidak terima karena padinya habis diserang hama wereng,sedangkan sawah bapak belum sedikitpun diserang hama tersebut. Pak Oni menuduh pak Rudi tidak adil dalam menyewakan tanah. Beliau juga menuduh pak Rudi memberikan obat-obatannya kepada bapak. Rupanya pak Rudi juga tidak terima dituduh demikian. Bahkan beliau menjelaskan bahwa padinya sendiri juga habis dimakan wereng.Tapi pak Oni tidak percaya,sekarang mereka berdua ada di sawah bapak”.
            “ Baiklah kalau begitu,ayo kita segera kesana.Tin...........,Tini tutup pintunya nduk. Bapak mau pergi kesawah dulu”.
            “ Inggih Pak...”.sahut Tini dari dalam rumah.

            “ Ada apa ini pak Rudi,pak Oni...? “ Tanya pak Santiko,beberapa orang telah berkumpul di pematang sawah. Mereka baru saja melerai pertengkaran antara pak Oni dan pak Rudi. Sementara matahari bersinar lebih terang daripada dua minggu yang lalu. Tidak tampak kabut yang menyelimuti perbukitan,juga gerimis yang hampir setiap pagi menyapa. Padi pak Santiko terlihat menghijau, meski di beberapa tempat daunnya mulai mengering. Juga batang yang tiba-tiba patah ataupun mulai layu.
            “ Begini pak Santiko,Pak Oni menuduh saya tidak adil dalam menyewakan sawah ini. Selain itu,beliau juga menuduh saya memberikan obat insektisida pengusir hama wereng serta pupuk pertanian gratis kepada bapak. Padahal bapak juga tahu sendiri bahwa sawah saya juga hampir habis di makan hama wereng. Benarkan Pak Santiko ?”
            “ Oh masalah itu,Benar sekali pak Oni. Pak Rudi tidak pernah memberikan perlakuan berbeda kepada para penyewa sawahnya. Bapak kan tahu sendiri,saya memupuk sawah ini dengan menggunakan pupuk kandang dari kotoran sapi yang ada di belakang rumah saya.Sedangkan untuk pupuk Urea telah sama- sama kita peroleh secara gratis dari bantuan Pemerintah,jadi apa yang harus dipermasalahkan lagi?”
            “ Tapi,bagaimana dengan hama wereng yang menghabiskan tanaman padi saya yang menjelang panen tersebut. Sedangkan padi pak Santiko terlihat baik-baik saja dan tetap menghijau”.
            “ Bagaimana bapak akan menjelaskan ini?” Cerca pak Oni lagi.
            “ Kalau masalah ini mungkin hanya masalah pilihan saja. Bapak lebih senang menanam padi jenis Membramo yang harga panennya lebih mahal. Sedangkan saya menanam padi jenis IR 64 Ciherang yang harganya lebih murah. Secara ketahanan,padi Memberamo cenderung lebih di sukai hama wereng karena kulit bulirnya lebih lunak,dalam hal ini sama dengan padi jenis Ketan.  Berbeda dengan padi jenis Ciherang,batangnya lebih keras juga kulit bulirnya yang keras agaknya kurang disukai hama wereng. Namun tidak sepenuhnya wereng tidak mau menyerang padi jenis ini. Coba bapak lihat sendiri padi saya sekarang. Pada beberapa tempat banyak batang yang patah dan daun yang mulai mengering. Jadi kesimpulannya,tuduhan bapak kepada pak Rudi tentang ketidakadilan dalam menyewakan tanah tidaklah benar. Sebaiknya bapak segera minta maaf kepada pak Rudi karena telah bapak fitnah”.
            “ Baiklah kalau begitu...pak Rudi,pak Santiko saya minta maaf karena telah menuduh yang tidak-tidak kepada bapak berdua”.

            Dua bulan kemudian,
            Hama wereng kian menjadi-jadi. Sebagian penduduk desa telah merasakan dampak yang sangat signifikan. Dampak gagal panen bukan hanya dirasakan pemilik sawah,para buruh tani yang bekerja membantu para petani pun mengalami dampak yang lebih parah lagi.
Upah mereka sebagai buruh tani tidak terbayar karena di desa ini masih menggunakan sistem Bawon yaitu pembayaran hasil kerja dengan cara dibayarkan pada saat panen yang berupa gabah dengan prosentase sepuluh persen dari hasil panen. Jadi,ketika pemilik sawah mengalami gagal panen maka para buruh tani tersebut pun tidak akan mendapat hasil apa-apa.
            Padi di sawah pak Santiko mulai menguning. Bulirnya mulai menunduk pertanda sebentar lagi akan panen. Timbul kekhawatiran yang mendalam pada lelaki tua ini. Tini ikut-ikutan merasa khawatir akan serangan hama wereng. Ia mulai rajin turut serta membantu pak Santiko pergi ke sawah,memeriksa tiap bulir padi yang sebagian kecil mulai ada yang mati. Bulirnya tiba-tiba kehilangan isi,batang yang mulai mengering dan daun mulai layu.
            Hampir tiap malam Tini sulit tidur,pikirannya melayang pada apa yang akan dimakan sekeluarga bila benar-benar gagal panen. Pekerjaan bapaknya di beberapa sawah tetangga sangat kentara tidak mendapatkan hasil. Sawah pak Ujang yang pada panen biasanya menghasilkan padi hingga lima ton hanya mendapatkan hasil enam kwintal saja. Alhasil pak Santiko hanya mendapatkan enam puluh kilogram gabah. Itupun masih harus di bagi dengan lima orang yang lain.
            Di sawah yang lain pak Santiko hanya mendapatkan pembagian paling banyak dua kilogram gabah. Dengan demikian semua hasil tersebut tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka selama tiga bulan selanjutnya. Mengharapkan bantuan hutang dari para tetangga seperti tahun-tahun sebelumnya pun tidak akan mungkin lagi. Semua sedang mengalami kesulitan saat ini. Hanya keluarga kaya lah yang mungkin masih memiliki stok beras dan gabah sisa panen satu tahun yang lalu. Dan mengharapkan mereka mau memberikan pinjaman hutang beras hanyalah bagai pungguk merindukan rembulan. Hutang uang masih mungkin di berikan. Tapi, siapa yang akan tahan dengan bunganya yang mencekik leher para petani.
            “ Apa yang harus kita lakukan saat ini Pak? beras sudah mulai menipis,uang sudah benar-benar habis,lalu apa yang bisa kita makan selanjutnya Pak? berhari-hari ini kita bisa makan karena memetik sayuran liar yang ada di kebun belakang. Walau hanya dengan berteman sambal bawang dan sisa ikan asin”. Tini mulai cemas.
            “ Sabar saja ya nduk,kita harus bersyukur. Kita tidak sedang mengalami cobaan ini sendiri. Banyak di antara tetangga kita yang mengalami nasib serupa. Mungkin kita bisa mulai menghemat beras kita sebelum benar-benar habis...”
            “ Maksud Bapak.....?”
            “ Begini,bapak telah menanam beberapa pohon singkong di sawah kita. Jadi kita bisa memanfaatkannya sebagai makan siang kita. Untuk sarapan dan makan malam kita bisa tetap makan nasi dari beras yang tersisa,bagaimana menurutmu nduk?”
            “ Tini ikut apa kata bapak saja. Asalkan masih dapat makan,Tini sudah sangat bersyukur”.

            Malam ini Tini sudah benar-benar tidak bisa tidur lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi dan matanya masih belum mau di pejamkan. Pikirannya benar- benar terasa kalut dan khawatir serta gelisah. Tini segera bangkit dari tempat tidurnya. Dengan sempoyongan menahan berat tubuh yang diserang kantuk, ia menuju ke pancuran yang ada di belakang rumah. Di pandang langit yang penuh dengan pendar bintang.Beberapa bintang jatuh menghiasi langit di malam yang dingin ini.
            Dengan beberapa sapuan di muka,tangan dan kaki. Tini mengambil air wudhu.Segera di tunaikan Sholat Tahajud disertai dengan Dzikir yang panjang. Memohonkan ampun atas dosa dan kekhilafan kedua orang tua dan dirinya sendiri. Tidak lupa memohon limpahan rizky dan hasil panen yang cukup untuk memenuhi kehidupan mereka. Selesai sholat,Tini mengambil secarik kertas dan sebuah pensil. Dengan lincah tangannya menari mengukir kata demi kata menjadi sebuah surat. Entah kepada siapa lagi Ia harus meminta pertolongan,juga tidak tahu kemana surat ini harus dikirimkan.
Yang Ia lakukan hanya berjalan menyusuri pematang saat pagi mulai menjelang.Beberapa orang yang menyapa pagi itu sengaja di acuhkan.Sampai di sawah bapaknya, Tini berhenti.Ia melihat pak Santiko merenung di bawah pohon randu,pandangannya terlihat kosong. Tini mengambil tempat duduk di samping Bapaknya.
            Dua orang anak dan bapak ini sama-sama terdiam. Tidak satupun kata keluar dari bibir mereka. Tini meraba saku bajunya. Mengeluarkan secarik kertas lusuh yang telah ditulisinya semalam. Ia meraba sebuah lubang yang ada di batang pohon randu tersebut. Diselipkan surat itu disana.

Kepada sahabatku Tomcat,

Salam hormat,
Dengan ini memohon bantuanmu segera untuk menolong sahabatmu yang sedang dalam kesusahan dan dalam suasana berperang menghadapi musuh kita bersama.
Segera kirimkan bala bantuan dari tentaramu yang tangguh untuk menghancurkan musuh bersama kita yaitu pasukan wereng.Hari ini pasukan wereng telah memenangkan hampir semua medan laga...
Jadi sekali lagi aku meminta segeralah datang untuk berjuang bersama.
Salam hormat,

Sahabatmu yang telah terluka dan hampir kalah

TTD
  
   Tini Priharti

“ Ayo pak kita pulang....” Tiba- tiba mata Tini berbinar. Ada semangat baru yang tumbuh dalam hati kecilnya. Sebuah Optimisme besar terbangun dalam imajinasi yang meluas seluas samudra. Derasnya sinar matahari seakan tidak akan pernah mampu meredupkan cerahnya senyum yang menggantung pada kedua sudut bibirnya. 

Masih teringat mimpinya kemarin. Seorang Panglima berkaki delapan dan bersayap memimpin pasukan dengan berani. Pedang yang terhunus siap gugur di medan laga. Baju kebesarannya berwarna hitam dan berbintik merah di beberapa tempat. Senyum yang tulus ikhlas sempat terpancar dari sudut bibirnya. Senyum itulah yang tertancap jauh di lubuk jiwa terdalam Tini. Kepadanya lah,nasib padi yang mulai menguning itu di pasrahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar