SEPUCUK SURAT KEPADA
TOMCAT
Pagi ini matahari bersinar tidak
sederas kemarin. Sinarnya teduh sejak pagi. Kepulan awan bergulung menutup
sebagian atap langit,hanya sesekali sinar mentari menyembul lalu kembali
tenggelam dalam selimut kabut. Dingin rupanya telah menyirap sebagian penduduk
di kaki Penanggungan ini. Tidak banyak orang yang pergi ke sawah seperti
biasanya. Selain karena beberapa orang yang baru saja menelesaikan
panen,sebagian yang lain juga merasa malas untuk pergi ke sawah. Serangan hama wereng akhir-akhir ini telah membuat
petani di desa ini ketar-ketir. Hasil panen yang menurun drastis dari tahun
kemarin menjadi pertimbangan yang sangat nyata.
Begitupun dengan pak Santiko. Rupanya
lelaki tua yang baru saja di tinggal mati sang istri tersebut juga malas pergi
ke sawah. Padinya yang mulai berumur satu bulan menjadi alasan. Ia seakan ingin
memasrahkan kehidupan padinya pada takdir yang di berikan Sang Maha Kuasa. Padi
yang hanya seperdelapan hektar itu tidak bisa lagi di harapkan hasilnya. Uang
apalagi yang akan digunakan untuk membeli obat pertanian yang setiap hari
harganya terus naik. Seperti biasa hukum pasar akan berlaku,dimana ketika permintaan
tinggi harga kebutuhan akan naik dan melambung tinggi. Apalagi ini hanyalah
sawah sewa. Kebetulan pak Rudi orang terpandang dan paling kaya di kampung ini
menyewakan sebagian besar sawahnya kepada para buruh tani dengan harga yang
cukup murah. Kegagalan panen tahun lalu ternyata cukup memukul orang yang
sebelumnya terkenal sangat kikir ini.
Ia tidak ingin mengulangi kegagalan
tersebut. Karena ternyata dengan obat-obatan mahal belum menjamin hasil panen
akan melimpah. Terutama saat musim hama wereng
yang dengan ganas menyerang padi seperti saat ini. Jadilah pak Rudi menyewakan
banyak sawahnya,termasuk kepada pak Santiko. Harga yang cukup murah menjadi
pertimbangan orang tua tersebut. Ia tidak lagi berpikir bagaimana nanti
sulitnya mencari sesuap nasi sambil menunggu hasil panen padinya. Juga beratnya
mencari biaya untuk membeli obat-obat pertanian. Sedang untuk pupuk pertanian
pak Santiko tidak usah bingung memikirkannya. Seekor sapi yang di pelihara di
belakang rumah bambunya selalu menghasilkan pupuk berkualitas tinggi.
“ Bapak tidak pergi ke sawah hari
ini ?” tanya Tini,anak semata wayang pak Santiko dengan almarhumah bu
Rhodiah,atau yang lebih akrab di panggil bu Tini tersebut. Tini yang saat ini
telah berusia sekitar lima belas tahun, baru saja lulus dari sebuah Madrasah
Tsanawiyah dan hingga detik ini tidak melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih
tinggi. Begitulah kebiasaan di kampung tersebut. Selepas menempuh pendidikan
setingkat Sekolah Menengah Pertama mereka akan berhenti sekolah, kecuali anak-anak
yang orang tuanya memiliki harta berlebih atau merupakan orang terpandang di
kampung ini. Termasuk keluarga pak Rudi, dua anaknya saat ini telah menempuh
pendidikan di sebuah perguruan tinggi di kota. Seorang di antaranya hampir
menyelesaikan tugas akhir dan sebentar lagi akan di wisuda. Yang seorang lagi
baru saja menempuh semester pertama. Sementara itu banyak anak yang lain hanya
menamatkan pendidikan mereka hanya pada jenjang Sekolah Dasar atau madrasah
Ibtidaiyah.
Sebenarnya Tini sangat ingin
melanjutkan sekolah hingga jenjang Sekolah Menengah Atas. Namun apalah
daya,keluarganya mengalami keterbatasan biaya. Bahkan selama di Madrasah Tsanawiyah pun kalau tidak terbantu oleh
beasiswa miskin entah apa jadinya nasib pendidikan Tini.
“ Tidak nduk,tidak ada orang
yang menyuruh bapak bekerja di sawah mereka hari ini. Sedang sawah kita
sendiri kemarin malam telah bapak aliri
air”.
“ Oh iya pak,bagaimana kabar sawah kita? Tini dengar banyak sawah
tetangga kita yang mengalami gagal panen.Apakah sawah kita baik-baik saja pak?”
“ Sementara ini sawah kita baik-baik saja nduk.Doakan saja hama wereng
tidak menyerang di sawah kita,apalagi kita tidak memiliki biaya lagi untuk
membeli obat-obatan pertanian yang katanya mahal itu”.
“ Memang,sudah tidak ada cara lain lagi untuk menghalau hama wereng tersebut selain dengan
obat-obatan insektisida tersebut
Pak?”
“ Sebenarnya ada nduk. Ada
salah satu jenis serangga yang merupakan musuh dari hama wereng tersebut. Namanya adalah hewan Tomcat. Namun entah mengapa tiba-tiba saja jenis serangga ini
menghilang justru ketika hama wereng
mulai menyerang. Kabarnya, penggunaan insektisida
dan pestisida yang berlebihan menjadi
salah satu sebab migrasinya serangga tersebut. Selain itu,banyaknya lahan
pertanian yang tergusur menjadi perumahan juga menjadi sebab. Belum lagi
kemarau panjang musim tanam yang lalu yang tentu saja merubah pola tanam kita
dari menanam padi menjadi menanam jagung dan ketela. Bahkan beberapa orang
malah enggan menanami sawahnya karena sulitnya mendapatkan air untuk mengairi
sawahnya”.
“ Sudahlah nduk,lebih baik
kita tidak terlalu berpikir tentang sawah kita dulu. Sebaiknya sekarang kita
sarapan.Kamu sudah masak kan nduk ?” tambah pak Santiko.
“ Iya Pak,tadi pagi Tini sudah
memasak.Nasi dan lauknya ada di dapur,Tini Ambilkan dulu ya pak”.
“ Pak....pak Santiko,buka pintu pak !!! Pak
Santiko....!”.Duk...Duk...Duk...pintu bambu itu di ketuk dari luar.
“ Sebentar...,siapa diluar ?”
“ Ini Joko pak,cepat pak
Santiko...cepat...!!!”
“ Ada apa lagi Joko,kok sepertinya
kamu terburu-buru begitu ? ”. Tanya pak
Santiko sekali lagi sambil membuka pintu rumah.
“ Anu pak...,ini...aduh...bagaimana
ini ngomongnya...?”
“ Kamu ini kenapa toh Jok,.....
Datang buru- buru,tidak pakai salam, malah sekarang ngomongnya
belepotan...Sebenarnya ada apa ? Ngomong yang jelas,yang terang jangan
berbelit-belit seperti ini ”.
“ Itu Pak,pak Rudi dan pak Oni
sekarang sedang bertengkar...mereka sekarang ada disawah bapak. Tampaknya pak
Oni tidak terima karena padinya habis diserang hama wereng,sedangkan sawah bapak belum sedikitpun diserang hama
tersebut. Pak Oni menuduh pak Rudi tidak adil dalam menyewakan tanah. Beliau
juga menuduh pak Rudi memberikan obat-obatannya kepada bapak. Rupanya pak Rudi
juga tidak terima dituduh demikian. Bahkan beliau menjelaskan bahwa padinya
sendiri juga habis dimakan wereng.Tapi
pak Oni tidak percaya,sekarang mereka berdua ada di sawah bapak”.
“ Baiklah kalau begitu,ayo kita
segera kesana.Tin...........,Tini tutup pintunya nduk. Bapak mau pergi kesawah dulu”.
“ Inggih Pak...”.sahut Tini dari
dalam rumah.
“ Ada apa ini pak Rudi,pak Oni...? “
Tanya pak Santiko,beberapa orang telah berkumpul di pematang sawah. Mereka baru
saja melerai pertengkaran antara pak Oni dan pak Rudi. Sementara matahari
bersinar lebih terang daripada dua minggu yang lalu. Tidak tampak kabut yang menyelimuti
perbukitan,juga gerimis yang hampir setiap pagi menyapa. Padi pak Santiko
terlihat menghijau, meski di beberapa tempat daunnya mulai mengering. Juga
batang yang tiba-tiba patah ataupun mulai layu.
“ Begini pak Santiko,Pak Oni menuduh
saya tidak adil dalam menyewakan sawah ini. Selain itu,beliau juga menuduh saya
memberikan obat insektisida pengusir hama wereng
serta pupuk pertanian gratis kepada bapak. Padahal bapak juga tahu sendiri
bahwa sawah saya juga hampir habis di makan hama wereng. Benarkan Pak Santiko
?”
“ Oh masalah itu,Benar sekali pak
Oni. Pak Rudi tidak pernah memberikan perlakuan berbeda kepada para penyewa
sawahnya. Bapak kan tahu sendiri,saya memupuk sawah ini dengan menggunakan
pupuk kandang dari kotoran sapi yang ada di belakang rumah saya.Sedangkan untuk
pupuk Urea telah sama- sama kita peroleh secara gratis dari bantuan
Pemerintah,jadi apa yang harus dipermasalahkan lagi?”
“ Tapi,bagaimana dengan hama wereng
yang menghabiskan tanaman padi saya yang menjelang panen tersebut. Sedangkan
padi pak Santiko terlihat baik-baik saja dan tetap menghijau”.
“ Bagaimana bapak akan menjelaskan
ini?” Cerca pak Oni lagi.
“ Kalau masalah ini mungkin hanya
masalah pilihan saja. Bapak lebih senang menanam padi jenis Membramo yang harga panennya lebih
mahal. Sedangkan saya menanam padi jenis IR
64 Ciherang yang harganya lebih
murah. Secara ketahanan,padi Memberamo cenderung lebih di sukai hama wereng karena kulit bulirnya lebih lunak,dalam
hal ini sama dengan padi jenis Ketan. Berbeda dengan padi jenis Ciherang,batangnya lebih keras juga
kulit bulirnya yang keras agaknya kurang disukai hama wereng. Namun tidak sepenuhnya wereng
tidak mau menyerang padi jenis ini. Coba bapak lihat sendiri padi saya
sekarang. Pada beberapa tempat banyak batang yang patah dan daun yang mulai
mengering. Jadi kesimpulannya,tuduhan bapak kepada pak Rudi tentang
ketidakadilan dalam menyewakan tanah tidaklah benar. Sebaiknya bapak segera
minta maaf kepada pak Rudi karena telah bapak fitnah”.
“ Baiklah kalau begitu...pak Rudi,pak
Santiko saya minta maaf karena telah menuduh yang tidak-tidak kepada bapak
berdua”.
Dua
bulan kemudian,
Hama wereng kian menjadi-jadi. Sebagian
penduduk desa telah merasakan dampak yang sangat signifikan. Dampak gagal panen
bukan hanya dirasakan pemilik sawah,para buruh tani yang bekerja membantu para
petani pun mengalami dampak yang lebih parah lagi.
Upah
mereka sebagai buruh tani tidak terbayar karena di desa ini masih menggunakan
sistem Bawon yaitu pembayaran hasil
kerja dengan cara dibayarkan pada saat panen yang berupa gabah dengan
prosentase sepuluh persen dari hasil panen. Jadi,ketika pemilik sawah mengalami
gagal panen maka para buruh tani tersebut pun tidak akan mendapat hasil
apa-apa.
Padi di sawah pak Santiko mulai menguning.
Bulirnya mulai menunduk pertanda sebentar lagi akan panen. Timbul kekhawatiran
yang mendalam pada lelaki tua ini. Tini ikut-ikutan merasa khawatir akan
serangan hama wereng. Ia mulai rajin
turut serta membantu pak Santiko pergi ke sawah,memeriksa tiap bulir padi yang
sebagian kecil mulai ada yang mati. Bulirnya tiba-tiba kehilangan isi,batang
yang mulai mengering dan daun mulai layu.
Hampir tiap malam Tini sulit
tidur,pikirannya melayang pada apa yang akan dimakan sekeluarga bila
benar-benar gagal panen. Pekerjaan bapaknya di beberapa sawah tetangga sangat
kentara tidak mendapatkan hasil. Sawah pak Ujang yang pada panen biasanya
menghasilkan padi hingga lima ton hanya mendapatkan hasil enam kwintal saja.
Alhasil pak Santiko hanya mendapatkan enam puluh kilogram gabah. Itupun masih
harus di bagi dengan lima orang yang lain.
Di sawah yang lain pak Santiko hanya
mendapatkan pembagian paling banyak dua kilogram gabah. Dengan demikian semua
hasil tersebut tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka selama tiga
bulan selanjutnya. Mengharapkan bantuan hutang dari para tetangga seperti
tahun-tahun sebelumnya pun tidak akan mungkin lagi. Semua sedang mengalami
kesulitan saat ini. Hanya keluarga kaya lah yang mungkin masih memiliki stok
beras dan gabah sisa panen satu tahun yang lalu. Dan mengharapkan mereka mau
memberikan pinjaman hutang beras hanyalah bagai
pungguk merindukan rembulan. Hutang
uang masih mungkin di berikan. Tapi, siapa yang akan tahan dengan bunganya yang
mencekik leher para petani.
“ Apa yang harus kita lakukan saat
ini Pak? beras sudah mulai menipis,uang sudah benar-benar habis,lalu apa yang
bisa kita makan selanjutnya Pak? berhari-hari ini kita bisa makan karena
memetik sayuran liar yang ada di kebun belakang. Walau hanya dengan berteman
sambal bawang dan sisa ikan asin”. Tini mulai cemas.
“ Sabar saja ya nduk,kita harus bersyukur. Kita tidak sedang mengalami cobaan ini
sendiri. Banyak di antara tetangga kita yang mengalami nasib serupa. Mungkin
kita bisa mulai menghemat beras kita sebelum benar-benar habis...”
“ Maksud Bapak.....?”
“ Begini,bapak telah menanam
beberapa pohon singkong di sawah kita. Jadi kita bisa memanfaatkannya sebagai
makan siang kita. Untuk sarapan dan makan malam kita bisa tetap makan nasi dari
beras yang tersisa,bagaimana menurutmu nduk?”
“ Tini ikut apa kata bapak saja. Asalkan
masih dapat makan,Tini sudah sangat bersyukur”.
Malam
ini Tini sudah benar-benar tidak bisa tidur lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul
tiga pagi dan matanya masih belum mau di pejamkan. Pikirannya benar- benar
terasa kalut dan khawatir serta gelisah. Tini segera bangkit dari tempat
tidurnya. Dengan sempoyongan menahan berat tubuh yang diserang kantuk, ia
menuju ke pancuran yang ada di belakang rumah. Di pandang langit yang penuh
dengan pendar bintang.Beberapa bintang jatuh menghiasi langit di malam yang
dingin ini.
Dengan beberapa sapuan di
muka,tangan dan kaki. Tini mengambil air wudhu.Segera di tunaikan Sholat
Tahajud disertai dengan Dzikir yang panjang. Memohonkan ampun atas dosa dan
kekhilafan kedua orang tua dan dirinya sendiri. Tidak lupa memohon limpahan
rizky dan hasil panen yang cukup untuk memenuhi kehidupan mereka. Selesai
sholat,Tini mengambil secarik kertas dan sebuah pensil. Dengan lincah tangannya
menari mengukir kata demi kata menjadi sebuah surat. Entah kepada siapa lagi Ia
harus meminta pertolongan,juga tidak tahu kemana surat ini harus dikirimkan.
Yang
Ia lakukan hanya berjalan menyusuri pematang saat pagi mulai menjelang.Beberapa
orang yang menyapa pagi itu sengaja di acuhkan.Sampai di sawah bapaknya, Tini
berhenti.Ia melihat pak Santiko merenung di bawah pohon randu,pandangannya
terlihat kosong. Tini mengambil tempat duduk di samping Bapaknya.
Dua orang anak dan bapak ini
sama-sama terdiam. Tidak satupun kata keluar dari bibir mereka. Tini meraba
saku bajunya. Mengeluarkan secarik kertas lusuh yang telah ditulisinya semalam.
Ia meraba sebuah lubang yang ada di batang pohon randu tersebut. Diselipkan
surat itu disana.
Kepada sahabatku Tomcat,
Salam hormat,
Dengan ini memohon
bantuanmu segera untuk menolong sahabatmu yang sedang dalam kesusahan dan dalam
suasana berperang menghadapi musuh kita bersama.
Segera kirimkan bala
bantuan dari tentaramu yang tangguh untuk menghancurkan musuh bersama kita
yaitu pasukan wereng.Hari ini pasukan wereng telah memenangkan hampir semua
medan laga...
Jadi sekali lagi aku
meminta segeralah datang untuk berjuang bersama.
Salam hormat,
Sahabatmu yang telah
terluka dan hampir kalah
TTD
Tini Priharti
“
Ayo pak kita pulang....” Tiba- tiba mata Tini berbinar. Ada semangat baru yang tumbuh
dalam hati kecilnya. Sebuah Optimisme besar terbangun dalam imajinasi yang
meluas seluas samudra. Derasnya sinar matahari seakan tidak akan pernah mampu
meredupkan cerahnya senyum yang menggantung pada kedua sudut bibirnya.
Masih
teringat mimpinya kemarin. Seorang Panglima berkaki delapan dan bersayap
memimpin pasukan dengan berani. Pedang yang terhunus siap gugur di medan laga.
Baju kebesarannya berwarna hitam dan berbintik merah di beberapa tempat. Senyum
yang tulus ikhlas sempat terpancar dari sudut bibirnya. Senyum itulah yang
tertancap jauh di lubuk jiwa terdalam Tini. Kepadanya lah,nasib padi yang mulai
menguning itu di pasrahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar